Ngeri...!!! Kisah Pertarungan Hidup Mati TNI Di Tengah Hutan...!
Ngeri...!!! Kisah Pertarungan Hidup Mati TNI Di Tengah Hutan...!
NKRI123 - Berhentiiiiiiiii! “Saya balik kanan, saya pikir habislah sudah. Tapi rupanya mereka tercekat melihat saya.” “ANAK-ANAK,
JANGAN LUPA SUMPAH PRAJURIT DAN SAPTA MARGA.” Nasehat ini disampaikan
Panglima Mandala Mayjen TNI Soeharto pada malam keberangkatan pasukan,
setelah menginap beberapa malam di Ambon. Dalam penerjunan itu, KU I
Sahudi bertindak sebagai komandan regu, yang salah satu anak buahnya
adalah Godipun (Foto cover: Operasi pembebasan Irian).
Sesuai
surat yang ditandatangani Panglima Mandala pada 11 April 1962, telah
dikeluarkan Perintah Operasi penerjunan PGT (Pasukan Gerak Tjepat) dan
RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat). Kedua pasukan digabung di
bawah satu komando untuk penerjunan pada 26 April di sebuah dropping
zone di wilayah Fak-Fak dan Kaimana. Penerjunan ini merupakan infiltrasi
udara pertama yang akan dilakukan tentara Indonesia di wilayah Irian
Barat dalam rangka Operasi Trikora untuk membebaskan Irian Barat dari
Belanda.
Pada
saat Operasi Banteng Ketaton dilaksanakan menggunakan enam pesawat
Dakota, pada pagi hari itu juga 26 April, diterbangkan pembom B-25
Mitchel dan dua pemburu P-51 Mustang sebagai pengawal. Seperti ditulis
di buku 52 Tahun Infiltrasi PGT di Irian Barat (2014), penerbangan ini
dilakukan untuk memantau keamanan jalur penerbangan sekaligus penipuan (deception flight).
Belanda
tidak menduga Indonesia mampu melakukan infiltrasi melalui udara.
Menurut mereka, rimba Irian Barat yang begitu rapat dan perawan, sangat
tidak mungkin dijadikan pangkalan gerilya. Dalam operasi penerjunan
pertama ke wilayah Irian Barat, kepada penerjun diinstruksikan agar
menyusup ke daerah lawan dan sedapat mungkin menghindari kontak senjata.
Tujuannya adalah untuk mengacaukan situasi dari dalam, sekaligus
menarik perhatian Belanda agar tertuju ke wilayah daratan (tengah)
sehingga pasukan kawan yang akan mendarat di pantai (daerah pinggir)
dapat masuk lebih leluasa.
Di
samping itu mereka mendapat tugas merusak radar di Kaimana. Untuk
mendukung penyamaran di hutan, mereka mengenakan overall warna hijau
tanpa pangkat. Setelah kejadian-kejadian ini, militer Belanda mulai
guncang dan tidak yakin lagi atas pertahanan udaranya, karena dengan
mudah bisa ditembus oleh Dakota.
Pagi
hari, 15 April 1962, Kolonel Udara Wiriadinata didampingi SMU Picaulima
dan KU I Atjim Sunahju, dipanggil Men/Pangau Laksamana Udara Omar
Dhani. Dalam pertemuan itu Men/Pangau memberitahukan bahwa Picaulima
bersama 18 anggota PGT akan diterjunkan di Irian Barat. Keesokan harinya
ke-19 anggota PGT ini sudah diterbangkan ke Ambon menggunakan Hercules.
Di sana mereka diterima Wakil Panglima Mandala, Komodor Udara Leo
Wattimena. Beberapa hari kemudian, tepatnya 25 April, ke-19 anggota PGT
ini diterbangkan ke Lanud Amahai, dan di sana sudah ada anggota RPKAD.
Pagi
itu sekitar pukul 10 waktu setempat, 25 April, flight C-47 Dakota yang
terbang dari Kupang mendarat di Lanud Pattimura. Pesawat ini berangkat
dari Lanud Halim sehari sebelumnya. Tak lama kemudian digelar briefing
dipimpin Panglima Mandala Mayjen Soeharto didampingi Komodor Leo
Wattimena. Briefing yang berlangsung di Gedung Teknik Umum (gedung
diesel) Lanud Pattimura itu dihadiri oleh pilot Dakota yang akan
mendapat tugas menerjunkan pasukan PGT dan RPKAD di Fak-Fak dan Kaimana.
Sejumlah warga berusia lanjut di sekitar Lanud Pattimura yang pernah
Angkasa temui, masih mengingat momen ini, saat Soeharto memberikan
taklimatnya.
Dalam
briefing siang itu dijelaskan bahwa tugas penerbang adalah menerjunkan
pasukan ke daerah yang sudah ditentukan. Beberapa penerbang terlihat
kaget, namun cepat menyesuaikan diri. Pasukan yang akan diterjunkan di
Kaimana diminta langsung menuju ke pesawat untuk diterbangkan ke Langgur
dan istirahat sampai waktu yang ditentukan. Sebelum lepas landas dari
Pattimura, Soeharto dan Leo memberikan ucapan selamat kepada pasukan
yang dipimpin Lettu Inf Heru Sisnodo dari RPKAD.
Operasi
dibagi atas dua penerbangan yang lepas landas dari Lanud Amahai, dengan
pentahapan Operasi Banteng I (Banteng Putih) menerjunkan pasukan di
Fak-Fak, dan Operasi Banteng II (Banteng Merah) di Kaimana. Penerjunan
di Fak-Fak dipimpin Letda Inf Agus Hernoto, sedangkan di Kaimana
dipimpin Lettu Heru Sisnodo. Bersama mereka juga diikutkan anggota dari
Zeni Angkatan Darat, yang akan bertugas merusak fasilitas radar Belanda
di Kaimana.
Operasi Banteng I
Sambil
menunggu perintah berangkat, pasukan memilih leyeh-leyeh di bawah sayap
pesawat. Mereka berusaha tidur sekenanya untuk mengumpulkan tenaga.
Tiga pesawat Dakota yang dipimpin Mayor Udara YE Nayoan, Komandan
Skadron 2 Transport, disiapkan untuk menerbangkan pasukan ke Fak-Fak.
Lengkapnya operasi ini akan menerjunkan satu tim gabungan yang terdiri
dari 10 prajurit PGT, 30 prajurit RPKAD ditambah dua orang Zeni. Tim ini
dipimpin Letda Agus Hernoto.
Sewaktu
lepas landas dari Laha, hujan turun deras. April hingga Juni memang
musimnya penghujan di kawasan Indonesia Timur. Dropping dilaksanakan di
tengah temaramnya subuh di sebelah utara Fak-Fak.
Ketika
formasi pesawat dalam perjalanan pulang, terlihat di laut sebuah kapal
yang lampunya berkelap-kelip. Setelah Dakota pada posisi sejajar dengan
kapal, diketahui dengan jelas bahwa ternyata kapal dimaksud milik
angkatan laut Belanda. Lampu yang terlihat berkelap-kelip ternyata
tembakan dari kapal ke Dakota. Formasi Dakota langsung berbelok ke
kanan dengan arah menjauh.
Setelah
konsolidasi di pagi hari itu, rombongan PU II Pardjo yang diterjunkan
di Fak-Fak ternyata selamat dan satu anggota dinyatakan hilang. Beberapa
hari kemudian datang Marinir Belanda sehingga terjadi kontak senjata.
Sesuai instruksi sebelumnya, bila kekuatan tidak seimbang segera masuk
hutan. Setelah keadaan tenang mereka menyusup kembali ke kampung
tersebut dan ternyata sudah kosong. Rumah-rumah penduduk dibakar oleh
Belanda dan penduduknya mengungsi entah kemana.
Sementara
pasukan yang diterjunkan di Fak-Fak, sekitar satu bulan bertahan di
sekitar kampung Urere, kemudian mendapat perintah meninggalkan kampung.
Dalam kondisi sudah lemah karena kekurangan makanan, pasukan berhenti
sejenak di kebun pala untuk istirahat. Kemudian secara tiba-tiba
diserang pasukan Belanda dari arah seberang sungai.
Dalam
kontak senjata, lima anggota gugur yaitu KU I Adim Sunahyu, PU I
Suwito, PU I Lestari, dua orang dari RPKAD yakni Sukani dan seorang lagi
tak diketahui namanya. Komandan Peleton Letda Agus Hernoto tertembak di
kedua kakinya dan ditawan Belanda. Sedangkan PU II Pardjo, kaki
kanannya tertembak namun dengan sisa tenaganya berusah menyelinap.
Setelah Belanda pergi, Pardjo berusaha merangkak (karena tak sanggup
berdiri) menuju tempat kelima temannya yang gugur. Dia hanya sanggup
berdoa dan tetap bertahan hidup di situ sekitar lima hari di antara
mayat teman-temannya yang mulai membusuk.
Sebuah
kebetulan beberapa orang Papua lewat. Mungkin kasihan melihat Pardjo
yang terluka, ia digotong dan dibawa ke kampung terdekat. Setelah
beberapa hari dirawat, digotong lagi bersama-sama menyusuri pantai
menuju rumah sakit angkatan laut Belanda di Fak-Fak. Di sini ia
memperoleh perawatan medis sebelum ditahan. Pada saat penahanan itu ia
mendengar melalui radio Belanda bahwa telah terjadi gencatan senjata.
Setelah
menjalani interogasi, ia dikirim dengan kapal laut ke Biak dan dari
sana dibawa ke penjara di Pulau Wundi. Di sinilah akhirnya ia bertemu
pasukan Resimen Pelopor, Kapten Kartawi dengan pasukannya, pasukan Peltu
Nana, Serma Boy Tomas, Kapten Udara Djalaludin, Letnan Udara I Sukandar
dan kru pesawat Dakota T-440.
Operasi Banteng II
Penerjunan
di Kaimana yang pertama terdiri dari tiga pesawat Dakota yang
diterbangkan oleh Kapten Udara Santoso dengan kopilot LU II Siboen, LU I
Suhardjo dengan LU II M Diran, dan LU I Nurman Munaf dengan LU I
Suwarta. Penerbangan ini dipimpin Kapten Santoso. Operasi ini
menerjunkan satu tim gabungan PGT dan RPKAD (23 RPKAD, 9 PGT, dan satu
perwira Zeni) di bawah pimpinan Letda Heru Sisnodo dan Letda Zipur
Moertedjo sebagai pimpinan penghancur radar di Kaimana.
Setelah
istirahat satu malam di Langgur, keesokan harinya 26 April 1962 pukul
04.45 waktu setempat, tiga Dakota lepas landas menuju sasaran di daerah
Kaimana dengan terbang rendah dalam keadaan hujan. Pada saat fajar
menyingsing sekitar pukul 05.30, pesawat mendekati daerah sasaran
sekitar l0 kilometer dari kota Kaimana yang terletak pada suatu lembah.
Pertama-tama diterjunkan adalah logistik, baru kemudian satu per satu
pasukan keluar dan mendarat di Kampung Urere.
KU
II Godipun masih sempat melihat buih-buih berkejaran di pantai Kaimana
sebelum bel tanda persiapan untuk terjun, memecah kesunyian subuh itu.
Karena masih gelap, umumnya tidak bisa menebak di mana akan jatuh. Yang
terlihat hanya gundukkan hitam yang ternyata adalah hutan belantara
dengan pepohonan menjulang tinggi bagaikan raksasa. Sampai di sini,
malapetaka langsung menimpa mereka.
Hampir
semuanya mendarat di puncak-puncak pohon yang tingginya sekitar 50 m.
Situasi ini sedikit menguntungkan bagi yang membawa beban ekstra berat,
seperti pembawa radio. Karena jika langsung mendarat di tanah,
kemungkinan cedera sangat tinggi.
Dropping
zone ini mereka ketahui sebagai wilayah Kampung Urere yang alias Pasir
Putih. Karena jatuh di atas pohon, banyak di antara anggota mengalami
cedera. Seperti KU I Sahudi, payungnya berhenti di antara dua pohon
sehingga ia tergantung-gantung seperti buah mangga. Tidak mau hilang
akal, Sahudi berusaha mengulur tali yang dibawa agar bisa turun. Rupanya
tali yang dibawa sepanjang 30 meter itu tidak menyentuh permukaan
tanah. Dia pun memutuskan menjatuhkan ransel perbekalan agar bisa
mengira-ngira ketinggiannya. Cukup lama sebelum bunyi benda jatuh di
tanah bisa didengarnya.
“Pohonnya tinggi sekali,” kenang Sahudi.
Hari
sudah mulai siang dan badan pun mulai letih karena tidak makan. Tidak
mau mati konyol di atas pohon, Sahudi mulai mengayunkan payung agar bisa
meraih dahan terdekat. Berkali-kali ia coba namun sebanyak itu pula ia
gagal. Tanpa disadarinya, karena terus bergoyang, payungnya mulai
merosot dari pohon. Sampai akhirnya lepas dan Sahudi pun terpental ke
pohon sebelum terhempas di tanah dengan punggung jatuh lebih dulu.
Ia
merasakan sakit tak terperikan di punggung, membuatnya nyaris tidak
bisa bergerak. Baru kemudian ia sadari bahwa tulang punggungnya patah!
Tak jauh dari tempatnya jatuh, ia melihat rekannya KU I J. Dompas yang
terluka dan Pratu Margono dari RPKAD mengalami patah kaki. Mereka
bermalam di situ selama beberapa hari, dan mendapat bantuan dari
penduduk setempat.
Siang
itu Belanda mulai mencium kehadiran pasukan gabungan. Gara-garanya
setelah pesawat Belanda yang melintas, pilotnya melihat parasut
bertaburan di puncak-puncak pohon. Karena itu Belanda pun mengirim
sejumlah polisi yang umumnya direkrut dari putra asli Irian untuk
mengecek kebenarannya. Untunglah ada penduduk berbaik hati mengabarkan
bahwa ada polisi datang.
Pasang IKLAN disini
"helvetica" , sans-serif; font-size: large;">
“Tuan
besar datang, tuan besar datang,” kata mereka. Malam itu juga Sahudi
dan kedua rekannya meninggalkan kampung kecil itu. Karena sedang sakit,
Margono hanya bisa merangkak, sementara Sahudi tertatih-tatih.
Seperti
yang lainnya, Godipun juga tersangkut di sebuah dahan. Malang baginya
karena ransel peluru dan granatnya lolos ke bawah. Menggunakan tali,
Godipun mencoba turun ke bawah. Namun dahan tempatnya bergantung
tiba-tiba patah, sehingga ia jatuh di pinggir kali berlumpur. Untung
lumpurnya cukup dalam, sehingga menjadi seperti matras. Hampir seluruh
kakinya tertanam di lumpur. Setelah berhasil keluar, ia mendengar suara
pluit di ketinggian, yang ketika dilihatnya berasal dari Sarjono.
Temannya ini tidak bisa turun karena sudah lemas. Oleh Godipun ditolong
turun. Dia kembali naik karena ransel dan perbekalan temannya masih
tersangkut di ranting.
Pada
hari ketiga setelah bertemu teman-teman yang lain, yaitu Sahudi, KU I
Fortianus, KU I Dompas, KU II Jhon Saleky, KU II Aipassa, dan tiga orang
lagi yang namanya tidak diketahui.
Dua
orang yang mengalami patah kaki, terpaksa dititipkan kepada penduduk di
sekitar dropping zone. Keluarga ini awalnya menerima dan bersikap baik,
namun ternyata mereka sudah dibina oleh Belanda. Sehingga kedua anggota
yang patah kaki tadi diserahkan kepada Belanda.
Komandan
tim Lettu Heru Sisnodo memutuskan, KU I Sahudi dan Pratu Margono yang
tengah sakit parah ditinggal di tempat karena akan mengganggu gerakan
pasukan. Pasukan ini mengalami kontak senjata dengan Belanda sewaktu
memotong sagu. Dalam kontak ini pasukan PGT tercerai-berai karena
kekuatan tidak seimbang, disamping fisik mereka sudah lemah. Setelah
tembakan berhenti, Heru memerintahkan Godipun membantu rekan-rekan yang
lain.
“Saya
pergi dan menemukan bekas tempat mereka memasak sagu,” ujar Godipun.
Besoknya Belanda kembali datang, dan kembali terjadi kontak tembak,
namun tidak ada yang terluka.
Dalam
kontak tembak ini KU I Fortianus tertembak di dada dan tewas di tempat,
sedangkan Pratu Suyono dari RPKAD berhasil meloloskan diri dan akhirnya
bertemu dua orang yang ditinggal karena cedera yaitu KU I Sahudi dan
Pratu Margono. Pada 18 Juli, dua orang yang cedera ini ditambah Pratu
Suyono tertangkap Polisi Belanda di bawah pimpinan Letnan Pol Ayal (asal
Ambon) dan wakilnya Torar (asal Manado).
Pada
suatu hari, Godipun disuruh menebang pohon pisang yang agak jauh dari
induk pasukan. Begitu kembali, ia sudah tidak menemukan rekan-rekannya,
pergi entah kemana. Dia berusaha menyusul. Sial baginya, di perjalanan
ia disergap Belanda. “Angkat tangan, lempar senjata!” Salah seorang
berteriak ke arahnya. Godipun langsung tiarap dan merayap menjauh.
Karena tidak kunjung keluar, tembakan gencar pun diarahkan ke
persembunyiannya.
“Saya
betul-betul disiram,” kenang Godipun. Sebuah timah panas akhirnya
mendarat di pundaknya. Sakit sekali, sampai-sampai rasanya mau nangis.
Pundak kirinya hancur dan tulang belikatnya mencelat keluar.
Nyaris
sudah pasrah karena kondisinya cukup parah, Godipun masih berusaha
untuk tidak tertangkap. Dia bersembunyi di balik sebuah pohon besar.
Belanda tidak berhasil menemukannya sampai akhirnya pergi. Tak lama
kemudian, Godipun berusaha keluar. Rasanya, tangan kirinya sudah tidak
ada, kalau pun masih ada sudah tidak bisa digerakkan. Sambil menahan
sakit, Godipun terus berjalan sampai menemukan teman-temannya. Ia lalu
mendapat pengobatan dari orang kesehatan RPKAD, Komaruddin.
Besok
paginya Heru menawarkan Godipun untuk menyerahkan diri. Dipikirnya
dengan menyerahkan diri, anak buahnya ini akan mendapatkan pengobatan
dari dokter Belanda. “Komandan, kalau saya mau menyerah sudah dari tadi,
sumpah prajurit tidak boleh menyerah,” jawab Godipun tegas dengan nada
tersinggung.
Penangkapan
ketiga orang ini akibat ulah penduduk yang kelihatannya cukup baik,
namun sebenarnya kaki tangan Belanda. Pasukan yang dapat lolos setelah
kontak senjata dengan Belanda kemudian bergerilya dan bertahan dalam
alam yang ganas selama tiga bulan.
Pasukan
ini dibekali sejumlah mata uang gulden Papua. Cara mendekati sasaran
dengan mengikuti jejak pasukan Belanda dan menggunakan penduduk setempat
sebagai penunjuk jalan, tetapi apabila terjadi kontak senjata penduduk
itu melarikan diri. Dalam perjalanan terjadi beberapa kali kontak
senjata. Yang gugur ditinggalkan dengan diberi tanda sedangkan
senjatanya disembunyikan.
Makanan
memang sulit didapat, kalau kebetulan menjumpai tanaman rakyat seperti
talas atau pisang, terpaksa dimakan dan sebagai gantinya ditinggalkan
uang gulden untuk pembayaran. Dalam perjalanan ini mereka bertemu salah
seorang anggota Banteng Raiders yang lepas dari induk pasukannya.
Jarak
antara kampung Pasir Putih dan Kaimana sekitar 20 km, tetapi ada jalan
pintas melalui jalan setapak. Karena itu usaha Belanda mencegat para
gerilyawan dilakukan melalui laut dari Kaimana dan pada tempat-tempat
tertentu pasukan diturunkan ke darat untuk mengadakan patroli. Semakin
dekat ke Kaimana semakin sering terjadi kontak senjata. Perkampungan
penduduk di sekitar Kaimana telah dijaga ketat pasukan Belanda dan
mata-matanya. Kekurangan makanan menyebabkan kondisi fisik pasukan
menjadi lemah, gerakan menjadi lamban dan akhirnya upaya pengamanan
kurang diperhatikan.
Keadaan
medan dan perlawanan Belanda sebenarnya tidak berat, yang berat justru
sulitnya mendapatkan makanan. Dalam suatu kontak senjata dengan musuh,
Prada Surip bersama tiga temannya terpisah. Ia bersama tiga temannya
yaitu Sabaruddin, Ijang Supardi dan Aipasa (PGT) berusaha mendekati
sebuah perkampungan. Rupanya kedatangan mereka telah ditunggu Belanda,
sehingga terjadi kontak.
Kelompok
yang semula empat orang ini terpecah lagi. Akhirnya Prada Surip tinggal
sendirian. Pasukan Belanda terus melakukan pengejaran. Karena kondisi
sangat lemah, akhirnya mereka tertangkap. Anggota pasukan lain di bawah
pimpinan Heru Sisnodo, sampai terjadinya gencatan senjata terus
melakukan gerilya di sekitar Kaimana. Berita gencatan senjata baru
mereka terima melalui pamflet yang dijatuhkan dari udara, yang itupun
mereka duga hanya tipu muslihat Belanda.
Letda
Czi Moertedjo dengan tiga pengikut menjelang mendekati Kaimana,
terjebak oleh pasukan Belanda. Dalam kondisi kurang makan berhadapan
dengan kekuatan Belanda yang lebih besar akhirnya mereka tertangkap.
Sepertinya
saat melaksanakan gerilya di sekitar Kaimana, Jhon Saleky bersama Heru
Sisnodo bertemu dengan kelompok perlawanan anti-Belanda dipimpin Mayor
(Tituler) Lodewijk Mandatjan. Dalam sejarah perjuangan Trikora, kelompok
Mandatjan dikenal sebagai penentang Belanda yang kemudian memilih masuk
hutan untuk melaksanakan perang gerilya terhadap Belanda. Karena
melihat anggota APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) di tengah
hutan, Mandatjan kemudian mengajak mereka bergabung.
Godipun
sendiri tertangkap tanggal 7 Juni. Saat tertangkap, ia dalam pelarian
seorang diri setelah kelompoknya terpecah karena diserang Belanda. Tanpa
senjata karena disimpan di dalam hutan setelah bahunya tertembak,
Godipun berjalan hingga tiba di sebuah pantai di Kampung Sisir. Ia pun
lupa membawa bungkusan yang isinya kitab suci dan tertinggal di hutan.
Di sini jejaknya tersendus anjing pelacak Belanda. Beberapa orang
penduduk lokal mengejarnya dari belakang sambil mengacungkan golok dan
tombak. Dia mencoba untuk lari, namun dicegah oleh sebuah teriakan
keras, Berhentiiiiiiiii! “Saya balik kanan, saya pikir akan digorok,
tapi rupanya mereka tercekat melihat saya.”
Kalung
Rosario yang tersembul dari balik bajunya mengagetkan para pemburunya.
“Kamu agama apa,” tanya mereka yang dijawab singkat, “Katolik.” Yang
bertanya malah tidak percaya dan marah sambil berujar, “Bohong kamu,
kamu babi Soekarno, bikin rusak tanah saya. Kamu mau hidup atau mau
mati.” Akhirnya Godipun dibawa ke sebuah rumah panggung di pinggir
pantai. Di situ ia melihat cukup banyak kuburan yang masih baru. Apakah
ada temannya yang dimakamkan di situ? Godipun hanya mengernyitkan
dahinya.
Dia
ditanya macam-macam, seperti siapa komandannya, di mana dia, di mana
teman-teman. Karena memang tersasar, ia tidak bisa memberikan jawaban.
Setelah mendapat havermut (oatmeal), minum, dan sebatang rokok, siang
itu ia dibawa ke rumah sakit untuk diobati. Suatu hari di penjara, ia
didatangi seorang pastor Belanda berjubah putih yang menawarkan sakramen
pengakuan dosa. Ia diajak ke ruangan komandan polisi untuk melaksanakan
pengakuan dosa.
Oleh
pastor didoakan supaya Belanda dan Indonesia cepat damai dan saya cepat
dipulangkan.” Kemudian diketahuinya nama pastor itu Van Manen. Saat
kembali ke kamar tahanan, ia melihat di sebuah meja sebuah bungkusan
yang ia sangat kenal. “Saya bilang ini punya saya, puji tuhan,” ujarnya.
Rupanya bungkusan itu berisi kitab Taurat dan Injil.
Setelah
di penjara sekian lama, suatu hari mereka dibawa dengan pesawat Dakota
ke Biak. Dengan mata ditutup, mereka dituntun ke dalam pesawat yang
ternyata di dalamnya sudah banyak wartawan asing. Mencermati penuturan
ini, sepertinya peristiwanya berlangsung setelah cease fire. Mereka pun
difoto oleh sejumlah wartawan. Di penjara Biak, Godipun bertemu Sarjono
yang pernah ia turunkan pakai tali.
Kenangan pahitnya bersama Sarjono adalah, ketika temannya ini memutuskan merebus sepatu karena sangat kelaparan.
Dari
Biak mereka dipindah ke penjara Wundi. Pada bulan September mereka
disuruh siap-siap naik kapal untuk dibawa kembali ke Biak. Di sini sudah
menunggu Hercules milik UNTEA yang akan menerbangkan mereka ke
Kemayoran, Jakarta.
Di
akhir Operasi Banteng Ketaton di Kaimana diketahui bahwa PGT telah
kehilangan sejumlah anggotanya. Mereka yang gugur adalah KU I Fortianus
dan KU II Gintoro. Sementara yang terluka tembak adalah KU I Sahudi yang
terluka saat terjun dan PU I G. Godipun. Adapun yang gugur di Fak-Fak
adalah SMU Picaulima, KU I Atjim Sunahju, KU I Sariin bin Djafar, PU I
Lestari, dan PU I Suwito. Dua orang yaitu KU I S. Bomba dan PU I Pardjo
hanya mengalami luka ringan.
Komentar
Posting Komentar